Lets Smart Together

Klik disini

Monday, June 12, 2017

Manis diawal Perkosa di belakang

“Sakit Paaaaaak! Sakiiiiiit!”, terdengar seorang gadis merintih. Gadis itu, berusia tidak lebih dari tujuh belas tahun, terlentang pasrah ditindih seorang pria muda.
“Memek lu enak banget, pecunh….”, sang pria berkata agak serak. Tersengal-sengal seiring dengan tubuhnya yang menggenjot habis tubuh langsing sintal si gadis. Menghujamkan burung berototnya ke dalam vagina lembut yang terkuak paksa.
gadis perawan di perkosa
“Sakit Paaak… pelan… aduuuh… pelan-pelan Pak…..”, sang gadis menjerit sejadinya. Tubuhnya terlentang tertindih di atas ranjang hotel murahan. Tangannya mencengkeram bantal. Kedua pahanya berusaha menutup dengan sia-sia karena menahan sakit bagaikan teriris silet di liang vaginanya. “Memek Dian sakit Paak… udaaagh… “, raung gadis yang rupanya bernama Dian itu menyayat hati.
“Ah, pecun kecil… nngghh… enak ajja lu bilang udah…. Lu udah gue bayar!, gue belum puas!”, hardik si pria pada gadis malang.
“Sakit Pak… ampun….!”, kini air mata Dian mulai mengalir.
“Agh… diam, pelacur cilik, diam!”, si pria menghardik lagi. “Lu kan udah.. nngh.. gue… bayar….” Ia melepaskan batangannya dari vagina Dian. “Sekarang nungging!”
“Egh… nggak… jangan Pak… jangan di pantat…”, Dian terkulai lemah.
“Ah, pelacur banyak bacot lu!”, si pria langsung menarik tubuh Dian, memposisikannya supaya menungging, membuat dua bungkahan pantat yang bulat kenyal berada persis di depan si pria. Dan tanpa menunggu, dengan brutal ia menghujamkan batang zakar itu ke dalam belahan pantat itu.
“Aaaaaagh… sakiit… sakiit… ampun Pak.. ampuun!”
“Ayo jerit terus, sampe mati!”, si pria tertawa kasar. Setelah ia melesakkan batangan miliknya ke dalam anus Dian, kemudian menghujamkannya berkali-kali.
Dian sudah kehabisan tenaga, dirinya bagaikan tubuh tanpa jiwa, boneka yang dijadikan alat pemuas nafsu belaka. Gesekan penis si pria dan anus Dian, membuat perut gadis itu bergolak. Dian yang sudah kehabisan tenaga karena kesakitan, tidak bisa menahan ketika ampas tubuhnya mengalir keluar. Muncrat melewati celah yang sama, yang sekarang sedang dihujam oleh batangan zakar sang pria.
“Eh, setan! Dia berak!”, si pria seketika mencabut penisnya yang sekarang berlumuran pasta coklat lengkap dengan aromanya menjijikan.
“Mmmmph… maaf…. Maaf… Dian ngak tahu…. maaf….”, Dian menangis.
“Ih.. dasar!”, si pria menghardik lagi. Kemudian ia menjambak rambut dian sehingga gadis itu jatuh tunggang langgang ke lantai. “Buka mulut lu, bocah!”, si pria dengan kasar mencoba melesakkan penisnya yang berlumur tinja itu ke mulut Dian.
“Aaagh… nggaaaaak… nggaaaak…..nnggggh….”, Dian mencoba berpaling, dan mengatupkan mulutnya. Namun si pria mencengkeram leher Dian sehingga gadis itu terpaksa membuka mulut. Dan detik itu pula batangan berotot yang berlumuran kotorannya sendiripun memenuhi mulutnya. Perut Dian seketika bergolak. Gadis itu muntah tanpa bisa tertahan. Tapi si pria tadi tetap mencengkeram kepala Dian, memaju-mundurkannya, memaksa menggesek mulut Dian dengan kejantanannya. tidak peduli segala isi perut Dian yang termuntahkan keluar.
“Hahahaha… enak eh, kontol saos tahi?”, si pria kembali menghardik. “Ayo kenyot terus bocah! Nanti dapet tambahan saos pejuh!”
Dian pasrah. Walaupun perutnya luar biasa mual, tapi seluruh isinya sudah dimuntahkan. Gadis itu hanya bisa menangis. Sambil berharap monster gila ini cepat cepat puas, dan ejakulasi di dalam mulutnya. Dan itulah yang kemudian terjadi. Si pria tiba-tiba menegang dan mengerang, dan menghujamkan penisnya sejauh mungkin ke dalam mulut Dian. Dan seketika mulut gadis itupun dipenuhi ciran lengket.
“Telan!”, perintahnya dengan suara serak. “Ayo, telan!”
Dian yang sudah pasrah memilih untuk menurut. Jika kotorannya sendiri saja bisa ia telan tadi, maka sperma laki laki ini masih jauh lebih baik. Tanpa banyak bicara gadis itu langsung menelan cairan kental itu, sampai habis.
“Jilatin kontol gue! Sampe bersih!”, monster itu kembali memerintah.
“Terima kasih…”, ujar Rani sambil tersenyum. Laki laki paro baya yang berada di depannya pun membalas senyumannya. Tanpa berkata apa apa lelaki itupun berbalik badan dan berjalan keluar. Dengan rapi jemari mungil Rani mengambil amplop kecil berisi kartu akses pembuka pintu itu. Menggeseknya di mesin magnetic untuk menghilangkan datanya.
Pagi ini Rani berpakaian rapi seperti biasanya. Gadis langsing berkulit bersih itu mengenakan seragam sekolahnya, kemeja OSIS berpasangan dengan rok berwarna abu-abu, ditambah balutan jas almamater berwarna cokelat muda. Rambutnya yang lumayan pendek -tidak sampai menyentuh bahu- malah membuat Rani semakin manis. Sebagai siswi SMK jurusan pariwisata yang sedang kerja praktek di sebuah hotel mewah, Rani mendapat tugas sebagai asisten receptionist. Namun pagi ini, rupanya masih terlalu pagi sehingga mungkin sang receptionist malas menemani Rani. Demikian juga dengan kawan kerja prakteknya yang juga ditempatkan di bagian reception, masih belum terlihat juga batang hidungnya. Untungnya pagi ini tidak terlalu ramai. Tamu-tamu sangat jarang yang check in pada jam-jam ini. Tamu yang check out juga bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar tamu hotel sedang menikmati makan paginya di coffeeshop hotel.
Pemerkosaan Memek Sempit
Karena reception masih sepi sepi saja, Ranipun duduk dan melirik jam tangannya. Hampir pukul tujuh pagi. Mestinya sang mitra kerja praktek yang juga berasal dari sekolah yang sama sudah datang. Sehingga walaupun tidak ada pegawai hotel yang menemani, Rani tidak perlu sendirian disini. Gadis itu kemudian menghela napas. Perasaan bingung kembali bergelayut dihatinya. Jika saja, jika saja, ia sudah benar benar bekerja di hotel ini, mungkin ia tidak segalau ini.
Hemodialisa. Satu kata itu benar benar mengerikan bagi Rani sekarang. Mungkin bagi orang berpunya, akan enteng saja dijalankan. Namun baginya, lain cerita. Ibunya telah divonis pembengkakan jantung. Dan setelah analisa dokter, penyebabnya adalah gagal ginjal.
Hemodialisa. Benar, cuci darah. Rani menghela napas lagi. Hemodialisa harus dilakukan ibunya seminggu dua kali. Seminggu, dua kali. Berapa biayanya itu? Tujuh ratus lima puluh ribu, sekali tindakan. Satu juta lima ratus ribu, setiap minggu. Enam juta setiap bulan. Seumur-umur Rani belum pernah memegang uang sebanyak itu. Namun pengobatan mahal itu mutlak dilakukan. Jika tidak, Ibunya akan mati lemas.
Rani tumbuh besar menjadi seorang gadis remaja tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya meninggal ketika Rani masih berusia delapan bulan karena kecelakaan. Sejak saat itu, Ibunya yang bekerja serabutan sebagai tukang cuci atau pembantu rumah tangga yang pulang hari, harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan Rani. Dan Rani bukan gadis yang tidak tahu diri. Prestasinya di sekolah selalu baik. Gadis itu tahu sang ibunda selalu bekerja keras agar dirinya mendapat pendidikan yang layak. Karena itu, Rani sudah bertekad akan secepat mungkin bekerja, untuk membantu meringankan beban ibunya. Itulah alasan ia memilih untuk sekolah di SMK.
“De’.…”, tiba-tiba terdengar suara memanggil.
Rani masih diam.
“Hei, De’….”
Rani terkejut. Seketika ia mendongakkan kepalanya. Lebih terkejut lagi ia mendapati sosok yang memanggilnya berwajah tampan. Pemuda berusia di akhir usia duapuluhan, atau awal tigapuluhan. Ia mengenakan kemeja putih berpasangan dengan pantalon berwarna krem.
“Sendirian disini? Receptionistnya mana? …”, ujarnya.
Rani seperti tersihir. Entah kenapa. Laki laki ini begitu tampan. Apakah dia mau menologku? Tiba tiba terpikir pertanyaan aneh di benak Rani.
“Lho, kok nangis?”, pemuda itu bertanya bingung seiring dengan air mata Rani yang tiba-tiba mengalir.
Rani terkesiap. Dengan tergesa-gesa ia menghapus air matanya. “Eh iya Pak? Maaf… maaf… tadi… eh.. Bapak mau check out?”, Rani gelagapan.
Si pria tampan tersenyum geli. “Nggak, saya nggak mau check out. Saya kan kerja disini”, ujarnya lembut.
“Hah?”, Rani terlihat bingung.
“Kamu nggak kenal saya?”, senyum pria tampan itu kembali menghiasi wajahnya. Membuat Rani seakan limbung. “Tadi kenapa, kok nangis Ran? Eh kamu dipanggil Rani kan?”
Astaga, kenapa dia tahu nama aku? tanya Rani dalam hati. Tapi gadis itu hanya mengangguk.
“Nah, mau cerita kenapa tadi kamu nangis?”, si tampan malah menatap Rani. “Diputusin pacar ya Ran?”, kemudian ia tersenyum simpul.
“Ah, Bapak… bisa aja…”, Rani kembali mengusap matanya. “Rani belum punya pacar Pak…”, gadis itu mencoba menyunggingkan senyum.
“Terus kenapa dong?”, si tampan kembali bertanya.
“Ah nggak apa apa Pak…”, jawab Rani.
“Terus kenapa nangis?”, si tampan mengejar terus. “Ada yang bisa aku bantu?”, si tampan kembali menatap Rani dengan lembut.
Rani menatap pria tampan itu dengan ragu-ragu. Kondisi Rani sekarang sudah jelas membuat gadis itu memerlukan bantuan. Bantuan dana. “Rani butuh uang Pak..”, ujar Rani tanpa sadar. Seketika gadis itu menutup mulutnya. “Eh… aduh… maaf Pak….”, wajah gadis itu seketika menjadi panas.
“Buat beli pulsa?”, si tampan nyengir kuda.
“Ah enggak… enggak…”, ujar Rani kembali gelagapan. “Bu… buat cuci darah…”, karena kalut dan malu, Rani malah berkata jujur. “Eh.. aduh… “, gadis itu kembali menutup mulutnya.
Raut wajah si tampan berubah serius. “Cuci darah Ran? Siapa? berapa kali seminggu?”
Rani terdiam. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Tanpa sadar, gadis itu sudah terlalu banyak bicara. “Ibu. Dua kali seminggu”, ujar Rani akhirnya.
“Ooo..”, jawab si tampan. Ia langsung mengeluarkan buku cek. Setelah menulis sesuatu disitu, kemudian ia merobeknya selembar dan menyodorkannya pada Rani. “Ini saya kasih cek aja. Mestinya cukuplah, untuk beberapa minggu. Tinggal diuangkan saja”, ujarnya.
Rani melongo. “Pak.. aduh..”, tiba tiba lidah Rani langsung kelu.
“Jangan banyak komentar. Ambil saja. Nanti kamu boleh minta lagi kalo sudah habis”, jawabnya cepat. Tapi Rani masih terlihat bingung. “Cepat. Itu receptionist-nya datang. Enggak enak kalau kelihatan dia”, ujar si tampan ketika melihat seorang gadis berusia duapuluhan masuk ke ruangan yang ada di dekat situ. Ruangan itu memiliki selasar yang menembus di bagian belakang ruang reception.
Rani masih bingung. Tapi melihat si tampan menatapnya dengan tajam, membuat gadis itu terpaksa mengambil lembaran cek yang disodorkannya. Rani sempat melihat jumlah nominal yang tertera di atasnya. Lima belas juta rupiah. Jantung Rani seakan berhenti ketika menyadarinya. Dan ia hampir melompat karena kaget ketika mendengar pintu dibelakangnya tiba tiba membuka.
“Pagi Pak…”, si receptionist menyapa sambil sedikit membungkuk ketika melihat si tampan.
“Pagi…”, si tampan membalas sambil tersenyum. “Saya naik dulu ya”, ujarnya kemudian sambil berbalik badan.
“Baik Pak”, si receptionist kembali sedikit membungkuk. Tapi si tampan tidak menoleh. Beberapa saat kemudian ia lenyap dibalik pintu elevator.
“Eh.. mbak… bapak itu tadi siapa ya?”, tanya Rani bingung.
“Hah? Aduh Rani, masa lu nggak tahu itu siapa? itu Pak Anthony, yang punya hotel ini!”, seru si receptionist. “Tapi dia emang jarang nongol sih disini”
“Hah? masa? aduh, aku kirain tamu!”, wajah Rani tiba-tiba berubah pias. “Abis kelihatannya masih muda”
“Emang. Tigapuluh tahunanlah”, jawab si receptionist. “Pak Anthony resmi jadi pemilik hotel ini, dua tahun yang lalu. Setelah kedua orang tuanya meninggal. Tragis. Ibunya gantung diri. Sementara ayahnya, pemilik awal hotel, yang waktu itu masih di Malaysia, malah meninggal karena kecelakaan disana. Dia sempat stress berat dan hampir bunuh diri karena itu. Tapi untung aja ada yang menyadarkannya. Dia langsung mengambil kendali hotel, meningkatkan fasilitasnya sampai jadi bintang lima. Tapi banyak orang yang bilang, sepeninggal ayah ibunya, Pak Anthony menjadi berbeda..”
Rani belum sempat buka mulut ketika pintu dibelakang mereka kembali membuka. Seorang gadis yang berpakaian sama dengan Rani tampak tergopoh-gopoh masuk. “Maaf mbak Clara, aku telat…”, ujarnya sambil tersengal-sengal.
Receptionist yang rupanya bernama Clara itu tersenyum sambil berujar, “Lagi-lagi telat, Dian?” Rani berdiri mematung di depan pintu jati yang kokoh. Belum sempat gadis itu menggerakkan tangan hendak mengetuk, pintunya membuka.
“Ah, datang juga, akhirnya!”, Anthony berujar dengan wajah cerah. Pemuda itu langsung mempersilahkan Rani masuk. Anthony tampil rapi seperti biasanya. Namun mungkin karena hari ini hari minggu, ia tidak mengenakan dasi. Pemuda itu mengenakan pantalon hitam berpasangan kemeja lengan pendek berwarna kuning gading.
Rani duduk di hadapan sofa berhadapan dengan Anthony yang duduk di meja kerjanya. Gadis itu kikuk luar biasa. Kembali ke hotel ini lagi, bukan sebagai siswi PKL melainkan sebagai tamu dari Anthony, yang tidak lain adalah pemilik sekaligus direktur hotel, membuat gadis itu gugup. Terlebih lagi Anthony sudah tahu maksud kedatangan dirinya.
“Jadi, Ibumu sehat, Rani?”, tanya Anthony sambil menulis buku cek.
“I… iya, Pak…”, jawab Rani.
“Syukurlah”, jawab Anthony. “Berarti Rani sekarang kelas tiga dong ya? Naik kelas kan?”
“Eh… iya, kelas tiga sekarang Pak..”, Jawab Rani.
“Bagus!”, seru Anthony sambil menyerahkan selembar cek. Tapi Rani diam saja. Anthony menatap Rani dengan kening berkerut.
“Pak Anthony…”, Rani berujar Lirih.
“Iya?”, anthony menatap Rani dengan lembut.
“Cu… eh… cuci darah… Ibu mesti cuci darah itu… seumur hidup Pak…”, Rani terbata-bata.
“Oh iya, biasanya. Kecuali ada yang mau donor ginjal…”, jawab Anthony.
“Jadi selama itu Rani…”, gadis itu diam sesaat, sebelum melanjutkan, “Rani harus minta uang sama Pak Anthony?”
Anthony tersenyum lagi. Dan sekarang ia duduk di sebelah Rani. Rani refleks menggeser duduknya untuk memberikan tempat yang lebih luas pada mantan atasannya itu. “Rani”, ujar Anthony. “Nggak selamanya kamu mesti minta uang sama saya. Nanti kalo udah kerja kan bisa biayain sendiri..”
“Tapi itu kan masih lama…”, Rani makin malu. “Sebelum itu, Rani ngerepotin Pak Anthony terus”
“Ya nggak apa-apa…”, Anthony mencoba menenangkan.
“Tapi… Rani nggak enak harus minta terus…”, jawab Rani lagi. Gadis itu merasa serba salah.
Anthony menghela napas. “Ibumu kerja apa Ran?”
“Tukang cuci”, jawab Rani. “Tukang cuci keliling. Pembantu. Tapi pulang hari, nggak nginep”
“Ahh… begitu”, jawab Anthony. “Kalau begitu jadi lebih mudah”, raut wajah Anthony terlihat sedikit cerah.
“Maksud Bapak apa? Rani nggak ngerti..”
“Ah gini aja Ran, kamu sama Ibu tinggal di rumah saya saja. Ibumu bisa kerja sama saya, saya gaji untuk ngurus-ngurus rumah. Kamu juga bisa berangkat sekolah dari rumah saya. Nah tiap minggu ibumu juga bisa cuci darah kan, saya yang bayarin. Jadi kita simbiose mutualisma”, cerocos Anthony sambil tersenyum lucu.
Rani malah melongo. Tentu saja usulan Anthony adalah usul yang bagus. Tapi…
“Ya sudah deh, Ran. Antar saya ketemu Ibu. Nanti saya yang bicara sama Ibumu..”, kembali Anthony menyunggingkan senyumannya yang khas. “Boleh?”
“Eh, iya terserah Bapak aja…”, Rani masih belum bisa lepas dari rasa kikuknya.
Anthony tertawa. “Kalau Ibumu setuju, tugas pertama kalian adalah, nemenin saya liburan dua minggu, di Bali!”, seru Anthony.
“Bali?”, Rani makin bingung.
“Iya Bali. Kamu masih libur panjang kan? Kamu sama Ibu harus ikut saya. Eh tapi panggil Mas aja Ran”, ujar Anthony.
“Mas?”, Rani terbengong seperti orang linglung.
“Iya, panggil saya Mas aja…”, Anthony menegaskan.
“Pak Anthony… eh.. Mas.. Mas.. Mas.. Anton…”, Rani terbata-bata.
“Boleh! Mas Anton kayaknya bagus. Mas Anton!”, seru Anthony.
Sampai hari ini Rani belum bisa memahami nasib baik yang menaungi dirinya. Bagaikan dijatuhi durian runtuh, nasib Rani seketika berubah. Dari gadis miskin yang mengisi hari hari luangnya dengan pekerjaan rumah, seketika menjelma menjadi gadis yang menghabiskan waktu liburannya di Bali. Tiap hari Rani berjalan-jalan di pantai sekitar hotel tempat mereka menginap. Makan satu meja dengan Anthony, belanja dari mulai gantungan kunci sampai dengan baju. Sampai gadget. Betul, gadget. Walaupun barang yang disebutkan terakhir tidak perlu dibeli disini. Namun kenyataannya Anthony memang membelikan Rani gadget di Bali. Anthony masih dengan sangat murah hati membelanjakan uangnya untuk memanjakan Rani, dan juga Ibunya.
Walaupun demikian, Rani menyadari, semahal apapun pakaian yang dikenakannya sekarang, secanggih apapun gadget yang ada di genggamannya, statusnya sebagai anak dari seorang tukang cuci tidak akan pernah berubah. Namun sebagai seorang gadis remaja biasa, mau tidak mau Rani menikmati juga kehidupan ‘mewah’ yang baru saja diberikan padanya oleh Anthony.
Sekarang Rani sedang menikmati malam terakhirnya di Bali, karena Anthony harus kembali ke Jakarta besok. Dan penuh rasa syukur Rani menatap laut yang hitam pekat dihadapannya. Puluhan lampu kelap kelip tampak dari kejauhan. Pemandangan yang, sebelumnya, hanya bisa dilihat Rani dari buku, majalah, atau acara televisi. Gadis itu berdiri di balkon president suite room pada hotel tempat mereka menginap. Suara desiran ombak terdengar merdu di telinga Rani. Apakah nasibnya sekarang sudah berubah? Pertanyaan itu berkali kali terngiang dalam benak Rani.
“Jika ada orang yang berbuat baik pada kita”, ibunya suatu hari pernah berkata, “terima dan syukurilah. Mungkin itu balasan Tuhan atas perbuatan baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa juga itu hutang yang harus dibayar di waktu yang akan datang”
Ingatan akan perkataan ibunya itulah yang masih mengganjal di benak Rani. Jika memang kebaikan yang diberikan Anthony adalah hutang, dengan apakah gadis itu harus membayar? Walaupun Rani sudah berusia enam belas tahun, pemikiran gadis itu masih polos. Untuk membayar semua yang telah diberikan Anthony padanya, dan ibunya juga, rasanya Rani tidak sanggup. Walaupun ia bekerja siang malam selama sepuluh tahun.
“Masih muda kok udah pinter ngelamun!”, seru Anthony tiba tiba dari belakang Rani. Dengan lembut ia mengenakan jasnya di punggung Rani, maksudnya supaya gadis itu terlindung dari terpaan angin laut. “Daripada masuk angin”, ujarnya sambil nyengir.
“Eh… Mas Anton…”, Rani tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sebenarnya gadis itu risi, tapi, ada perasaan senang ketika Anthony datang dan menyampirkan jasnya di punggungnya. Kayak di film-film romantis, Rani geli sendiri dalam hati.
“Besok kita balik ke Jakarta”, ujar Anthony.
“Ehm, iya Mas. Masih ada yang harus diberesin?”, tanya Rani. Belajar jadi asisten rumah tangga yang baik.
Anthony tersenyum. “Ibu-anak sama aja. Yang dipikirin pekerjaan melulu. Disuruh santai di Bali malah masih nyari-nyari kerjaan”
“Ah nggak, Rani santai aja kok disini”, Rani menyanggah. Mulai berani nyolot pada ‘majikannya’. “Tapi, ada yang masih harus diberesin, Mas?”
Anthony tertawa. “Nggak. Semua kan udah ibu, dan kamu, beresin tadi sore. Besok pagi tinggal berangkat”, Anthony berujar. “Besok sehabis dari bandara, kita langsung ke rumah saya aja. Kamarmu dan kamar Ibumu sudah disiapkan. Oo oo.. jangan melihat saya kayak gitu, Rani. Iya, kamarmu berbeda dengan Ibumu. Saya tahu anak perempuan seumur kamu sudah harus punya kamar sendiri. Privasi. Dan bajumu dan ibumu nanti beli saja lagi. Jadi kamu nggak perlu balik lagi ke rumah kontrakanmu yang butut itu”
Tidak biasanya kediaman Anthony, bujangan pemilik sebuah hotel bintang lima di jakarta, ramai oleh kunjungan tamu-tamunya. Namun hari ini keriuhan tidak terhindarkan karena kedatangan teman-teman Rani, anak dari asisten rumah tangganya yang berulang tahun yang ke tujuh belas.
Anthony sendiri yang berinisiatif mengundang teman-teman Rani, dan mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya. Rani pada awalnya menolak, namun Anthony tetap pada pendiriannya. Sehingga membuat Rani tidak bisa berbuat banyak – walaupun senang tentu saja.
Pesta berlangsung sejak jam 18.30. Setelah acara makan malam, dilanjutkan dengan tiup lilin diiringi suara riuh rendah teman-teman Rani yang membuka mulut selebar-lebarnya menyanyikan lagu panjang umurnya. Rani sendiri merasa sangat bahagia. Seumur-umur baru kali ini ulang tahun gadis itu dirayakan.
Setelah potong kue, tentu saja dilanjutkan dengan acara buka kado. Semua teman teman Rani memberikan gadis itu hadiah. Jenisnya bermacam-macam, sampai Rani bingung sendiri. Anehnya selama acara berlangsung, hanya sekali Anthony menampakkan batang hidungnya : ketika menyambut kedatangan teman teman Rani yang memang datang segerombolan. Setelahnya Anthony mengurung diri di kamarnya. Bahkan sampai teman teman Rani pulang, Anthony tidak pernah muncul lagi.
“Jadi maumu apa heh?”, seorang pria terdengar marah-marah dengan lawan bicaranya melalui ponsel.
“Jangan sentuh dia, Pak. Please..”, suara perempuan di ujung sana hampir menangis.
“Apa hakmu ngelarang saya…”, nada suara sang pria terdengar makin tinggi, tapi terpotong jerintan lawan bicaranya.
“Dia itu teman saya. Anak baik baik Pak. Dia masih polos..”, lawan bicara sang pria terdengar putus asa.
“Tidak seperti kamu eh, Dian?”, pungkas sang pria seraya memutuskan hubungan.
Rani baru saja selesai mandi ketika smartphone miliknya berbunyi ‘ping’ beberapa kali. Tidak mengacuhkannya, gadis yang masih mengenakan gaun mandi itu terus saja mengeringkan rambutnya yang basah. Iapun duduk di tempat tidur miliknya yang bersprei satin berwarna putih bersih. Setelah merasakan rambutnya hampir kering, Rani baru meraih smartphonenya.
Apa-apaan sih, si Dian? Tanya Rani dalam hati. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju lemari pakaiannya yang berpintu kaca cermin. Tapi tiba tiba Rani kembali teringat akan perkataan ibunya,
“Jika ada orang yang berbuat baik pada kita, terima dan syukurilah. Mungkin itu balasan Tuhan atas perbuatan baik kita di jaman dulu. Tapi, bisa juga itu hutang yang harus dibayar di waktu yang akan datang”
Sial, gerutu Rani dalam hati. Kenapa tiba-tiba aku jadi ketakutan begini sih? Kenapa juga si Dian gila itu mesti ngomong yang nggak-nggak, kan nggak mungkin kalo Mas Anton… Gadis itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu kamarnya membuka, Anthony masuk dan langsung mengunci pintunya.
“Mas Anton?”, Rani heran. Belum menyadari bahaya yang tengah mengintai.
“Oh kamu memang cantik, Rani…”, ujar Anthony. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana boxer. Sorot matanya aneh. Ia mendekati Rani dan mencengkeram lengan gadis itu. Sementara dengan tangan lainnya Anthony mencoba melepaskan gaun mandi Rani.
“Mas Anton! Apa-apa…”, Rani berusaha menahannya.
Anthony memelintir lengan Rani sehingga gadis itu memekik kesakitan. Dan kemudian ia mencengkeram tubuh gadis itu dari belakang.
“Ibuuuuu! Tolooong!”, Rani memekik.
“Teriak saja semaumu, manis. Ibumu sudah tidur. Dan asal kau tahu, kamarmu dan kamar ibumu kedap suara”, tangan kiri Anthony berhasil melepaskan ikatan gaun mandi Rani. Sementara tangan kanannya menahan tubuh Rani.
“Mas Anton.. jangan Mas.. tolong..”, Rani mulai menangis.
“Kau pikir kau bisa seenaknya aja ngabisin uangku eh?“, hardik Anthony sambil mencium pipi Rani dengan kasar. “Dasar perempuan murahan. Selalu saja menggunakan kecantikan dan air mata kalian untuk keuntungan. Sial. Jika tidak ada perempuan murahan terkutuk macam kalian, tentu Ayahku tidak selingkuh. Dan Ibuku masih hidup…”
“Mas Anton ngomong apaan sih? Rani nggak…”
“Halah, sudah, lepas aja!”, Anthony menghardik sekaligus menarik gaun mandi Rani dengan keras sehingga gadis itupun telanjang. Anthony langsung menarik Rani ke ranjang dan menindihnya. Dengan kasar ia langsung mengulum bibir Rani. Sementara kedua tangan gadis itu dipegangi dengan kuat. Puas melumat bibir gadis malang itu, Anthony menuju sasaran lain, payudara. Anthony menarik salah satu payudara mungil gadis itu ke pangkalnya sehingga putingnya mencuat ke atas. Detik itu juga anthony menggigit puting itu dan menariknya dengan gemas.
“Aaaaaagh… sakit.. sakit Mas Anton… sakit…”
Anthony hanya mengerang dan memperkuat gigitan. Seperti binatang buas yang mencoba mengoyak daging buruannya dengan ganas. Kemudian ia beralih ke puting Rani yang lain. ia menjilatinya. Sementara Rani hanya bisa meringis. Tapi kemudian Anthony kembali menggigitnya dan menarik puting itu sekuat mungkin. Rani kembali menjerit, dan Anthony seperti tersenyum dalam erangan. Anthony cukup cerdik untuk menyakiti puting Rani tanpa membuat puting Rani putus. Karena jika sampai hal itu terjadi, bisa berakibat fatal. Dan ia tidak bisa bermain dengan tubuh Rani lebih jauh.
“Tetek kamu imut imut kenyal, Ran!”, seru Anthony sambil mengusap mulutnya dari liur yang mengalir. Ia tampak puas melihat kedua payudara Rani yang berwarna kemerahan bekas gigitannya. Anthony kemudian dengan kasar mengangkangkan kedua paha Rani. Gadis itu hanya bisa menangis pasrah. “Wuih Rani, memek kamu masih rapet nih…”, ujarnya sambil mencolek-colek celah vagina Rani yang segaris lurus, bersemayam diatas gundukan yang menyembul berwarna putih bersih tanpa rambut.
Anthony melepaskan boxernya. Seketika burung berotot miliknya menjenjang keluar seperti tiang listrik. Kemudian ia berlutut di antara kedua paha Rani, dan membiarkan kedua kaki Rani yang jenjang itu menjuntai di atas pahanya, sehingga kepala zakar miliknya tepat berada di hadapan belahan mungil rapat di kutub selatan tubuh Rani.
“Mas… jangan Mas… tolong… ampun Mas…”, Rani meratap sambil terisak.
“Ah, persetan!”, Anthony mulai melesakkan kejantanannya ke dalam sangkar imut Rani.
“Jangan Mas… sakiit….”, Rani meringis. Air matanya terus mengalir.
“Perempuan kayak kamu emang harus disakitin. Itu kan yang kalian mau? Setelah menangis, lalu mengais. Mengais uang macam tikus mengais makanan basi di tong sampah!”, Anthony menghardik. Dan seketika mendorong penisnya sejauh mungkin. Dengan sekuat tenaga.
“Aaaaaaagh… sakit Mas…”, Rani merintih pilu. Detik yang sama kejantanan Anthony berhasil merenggut kepolosan tubuh Rani. Darah menetes dari celah mungilnya.
Anthony tertawa serak. Mengerikan. Bagaikan hewan buas yang baru menguasai lawannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Anthony mulai memompa. Menggenjot tubuh Rani yang malang. Bagaikan memeras sari kemurnian tubuh gadis itu. Menyayat liang vagina Rani, Seiris demi seiris.
“Mas… ampun Mas… periih… sakit….”, Rani merintih memohon belas kasih.
“Ah…” napas Anthony tersengal sengal. “Bohong! kalian bilang sakit, ngh.. ngh.. supaya bisa dapet duit lebih kan…” Anthony makin buas mengaduk liang mungil Rani. Vagina Rani berkontraksi luar biasa, mencoba mengeluarkan batangan asing mengerikan yang menyesakinya. “Ah… memek… memek perawan emang enagh…”, Anthony merasa nikmat luar biasa.
“Eng… Sakit Mas… ampun… udagh Mas.. please… udagh… perih Mas… ampun…”
Anthony makin ganas. Seakan ingin merobek robek liang vagina Rani, ia menghujamkan batangannya bukan hanya untuk merasakan kenikmatan celah surgawi itu, tapi juga untuk menyakiti Rani. Sesakit mungkin. Tapi seketika tubuh Anthonypun menegang. Ototnya mengeras bagai patung. Dan detik itu cairan hina Anthony muncrat dan membanjiri liang mungil Rani. Anthony menghujamkan batangannya sedalam mungkin, mengangkat pantat Rani agak keatas agar spermanya mengalir ke rahim. Seakan akan hendak menghamili gadis itu. Semata mata hanya untuk menambah penderitaanya saja. Jika Rani benar benar hamil, Anthony akan menggugurkannya.
“Ah… memek kamu luar biasa Ran!”, seru Anthony sambil mencabut penisnya dari vagina Rani. “Bener-bener memek perawan sweet seventeen!”
“Mas Anton tegaa…”, Rani meratap sambil terisak isak. Gadis itu langsung terduduk. Memandang celah mungilnya yang sekarang perih luar biasa. Noda merah terpercik di sprei dibawahnya.
Anthony tertawa kasar. “Basa basi”, sergahnya. “Emangnya kamu sebegitu naifnya sehingga mau aja uang yang saya kasih eh? Kamu tidak pernah berprasangka sedikitpun, hari ini pasti terjadi?”, Anthony nyerocos sambil mengenakan kembali boxernya. “Nggak mungkin Ran. Nggak mungkin kamu sebodoh itu. Kamu pasti tahu, cepat atau lambat, pasti…”
“Rani nggak tahu!”, jerit Rani. “Lagipula, waktu itu Rani lagi bingung. Jujur, butuh duit buat Ibu. Apa Rani salah kalo nerima uang, yang Mas Anton kasih sendiri, buat Ibu berobat?”, kembali Rani tersedu-sedu.
“Ah iya”, Anthony berkata sinis. “Ibumu itu butuh uang ya…”, ujarnya sambil mendekati Rani yang terduduk di ranjang. “Kalau begitu”, Anthony duduk di samping Rani, mendorong gadis itu hingga terlentang, kemudian menghujamkan jari tengah dan telunjuknya ke dalam vagina Rani. Seketika Rani menjerit kesakitan. “Siapkan memekmu setiap saat, bocah, Kalau kamu mau aku terus bayar ibumu berobat!”
“Baru pulang Ran?”, tanya Anthony yang sedang duduk di ruang tengah, ketika melihat Rani berjalan masuk masih mengenakan seragam sekolahnya dan bertelanjang kaki.
“Iya Mas”, jawab Rani sambil berjalan masuk ke ruang makan. “Mas Anton belum makan ya?”, ujarnya ketika melihat makanan di atas meja makan masih utuh. “Ibu masih di rumah sakit ya Mas?”
“Iya”, Anthony menjawab pendek. Tiba tiba sudah di pintu ruang makan. Ia langsung memeluk Rani dari belakang. “Aku mau makan kamu dulu…”, Anthony menciumi leher Rani. “Ah, keringat kamupun enak dicium, Ran…”
“Mas… “ Rani meronta. “Jangan… tadi pagi kan udah…”
“Ah, sudah lupa kalo kamu itu pelacurku, Ran? Pelacur!”, Anthony menghardik sambil menyeret Rani ke ruang tengah.
Air mata Rani menitik. Hatinya sakit luar biasa setiap mendengar Anthony menyebutnya pelacur. Tapi gadis itu tidak punya pilihan lain. “Nggak Mas… Rani nggak lupa..”, Rani menjawab. “Tapi Rani baru dapet..”, gadis itu sedikit meronta ingin melepaskan diri. Anthony mencengkeram pinggang gadis itu, memeluknya dari belakang.
Anthony tertawa. “Emang kenapa? Jangan cari-cari alasan!”, pria itu kemudian melepaskan rok yang dikenakan Rani dan memaksa Rani nungging dengan bertumpu tangan di atas sofa. Anthonypun memeloroti celana dalam gadis itu. Seketika darah Ranipun mengalir dan membercak di lantai.
“Mas… kan udah Rani bilang…”
“Iya.. iya tahu… kamu lagi dapet kan?”, Anthony terlihat cuek. Ia langsung melepaskan celana dan celana dalamnya sendiri. “Ah.. suck it in, bitch!”
“Aaaaaagh!”, Rani memekik. Anusnya terasa sakit luar biasa. Rupanya anthony melesakkan kejantanannya ke dalam anus Rani. “Mas! Jangan Mas! Sakiit!”
“Agh… pantatmu enak juga Ran!”, Anthony terus mengobok obok pantat Rani dengan kejantanannya. “Lebih peret dari memek kamu!”
“Agh… sakit Mas… ampun!”, Rani menangis, meringis menahan sakit.
“Agh..”,
Plak! Plak! Plak! Plak!
Anthony menampar-nampar kedua bulatan pantat Rani. Rani menangis tersedu sedu. Hujaman demi hujaman terus dilesakkan Anthony, sementara Rani mengeliat-geliat kesakitan. Sampai akhirnya, Anthony mengerang keras, dan penyiksaan itupun berakhir setelah cairan nafsu Anthony yang membanjir. Rani merosot ke lantai. Lantai pualam yang dingin terasa menyejukkan pantatnya yang perih.
“Jilatin kontol gue!”, Anthony membentak. Dengan kepatuhan seorang budak, sambil berlutut Rani menjilati kejantanan Anthony yang mulai melayu itu. Membersihkannya dari noda noda sperma. “Bagus.. “, ujarnya sambil mendorong kepala Rani agar menjauh.
“Mas Anton suka?”, tanya Rani sambil menatap majikannya.
“Suka apaan? Ngentotin pantat kamu?”, Anthony tertawa keras. “Kenapa nanya? Udah keenakan jadi pelacur?”
Rani tersenyum miris. “Kalau Mas Anton senang, Rani juga senang. Yang penting Ibu sehat…”
Anthony menyetir sendirian memasuki kompleks tempat rumahnya berdiri. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 03.30 pagi, dan tanggal 14 Februari. “Ah iya, 14 Februari ya..”, gumam Anthony. Hari Valentine, cetus Anthony kemudian dalam hati. Bull shit! Hari yang dihiasi cokelat dan hati. Cih! Cokelat. Cewek abg seperti Rani pasti senang diberi cokelat di hari ini. Kontol gue juga warnanya coklat! Anthony terkikik sendiri.
Pria itu baru pulang sehabis karaoke bersama teman-teman sesama pengusaha. Sang teman melanjutkan kegiatannya dengan kegiatan di ranjang bersama lady escort karaoke yang sedari tadi sudah membakar nafsu mereka. Anthony memilih pulang untuk kemudian menggelut tubuh Rani, gadis yang dianggap pelacur pribadinya. Gadis lugu yang selalu pasrah mengikuti kehendaknya, apapun itu.
Hampir pukul empat pagi ketika Anthony membuka pintu kamar Rani yang memang tidak pernah dikunci. Pria itu sangat terkejut mendapati ‘pelacur ciliknya’ sedang duduk bersimpuh di lantai beralaskan karpet kecil, dengan menyelubungi tubuhnya dengan busana putih yang hanya menyisakan wajahnya yang tak tertutup. Air mata gadis itu terlihat berlinang. Samar-samar Anthony dapat mendengar bisikan gadis itu, yang diiringi isak tangis kecil.
“…terima kasih… terima kasih… engkau telah menolong ibu… … mengirim Mas Anthony untuk menolong Ibu… … berkahilah Mas Anton… karena ia baik sekali pada hamba dan ibu… limpahkanlah rezeki kepadanya… hanya engkau yang maha kaya… yang bisa membalas kebaikan Mas Anthony… tetapi kalau masih boleh hamba memohon… hamba mohon…. hamba tidak mau jadi pelacur… hamba tahu itu dosa… jika memang hamba harus melayani… Mas… Anthony… hamba mohon… hamba bisa jadi isteri Mas Anthony… supaya hamba bisa melayaninya dengan tulus… hamba sangat sayang padanya… hamba rela melayaninya… kapanpun… walaupun hamba sampai sakit… hamba tidak menginginkan apa-apa… kesehatan ibu adalah yang paling penting buat hamba…“
Lutut Anthony seketika menjadi lemas mendengarnya. Pria itu merosot hingga jatuh terduduk di lantai. Tanpa tertahan air matanya mengucur deras. Rani yang terkejut mendengar suara orang terjatuh langsung melepaskan busana putih yang membalut gaun tidurnya. Bergegas ia berlari menuju pintu, dimana tampak sesosok bayangan yang terduduk di lantai.
“Lho… Mas Anton?”, Rani heran mendapati majikannya itu menangis.
“Rani…”, ujar Anthony dengan suara serak.
“I… iya Mas?”
“Kamu… kamu…”, Anthony menggenggam tangan Rani kuat-kuat.
“Iya, Mas?”
“Kamu mau nikah sama saya?”, Anthony berujar setelah mengumpulkan kekuatan.
Rani terkejut. Gadis itu mencoba menarik tangannya.
“Jawab Ran! Sekarang!”
Rani diam saja. Gadis itu memandang Anthony yang sedang menangis dengan pandangan lembut. Baru kemudian ia mengangguk.
“Bener?”, Anthony masih mengejar.
Rani mengangguk sekali lagi. Saat itulah Anthony melihat ada yang lain di sorot mata Rani. Ada cinta disana. Ada ketulusan. Ada kebaikan hati. Mirip dengan sorot mata seseorang yang sangat ia kenal, ibu Anthony sendiri.
“Terima kasih ya Ran”, Anthony mencium tangan Rani lekat-lekat. “Terima kasih… dan.. ha..happy… valentine’s day…”
“Mestinya Rani yang bilang terima kasih”, ujar Rani sambil membenamkan tubuhnya di dalam pelukan Anthony

IKLAN SEBENTAR GAN^^:


,

PERKOSAIN ANAK KOST

Sudah lama aku dan beberapa temanku mengincar sebuah kost putri yang masih baru didaerahku. Daerah dekat kampungku terdapat perumahan yang masih tergolong baru dan tempatnya cukup terpencil ditengah sawah yang kebetulan belum banyak berpenghuni. Hanya ada 5 rumah yang baru dibangun, dan yang ditempati baru satu dan itupun ditempati oleh 4 orang cewek yang kebetulan kost disitu. Kami sering memperhatikan mereka pada saat mereka sering lewat membeli barang kebutuhan dikampungku. Mereka semua cantik cantik dan putih. Belakangan kami mulai mengenal nama nama mereka. Mereka semua berasal dari luar daerah yang baru masuk kuliah semester pertama.
Image result for perkosa anak kost
Suatu malam pada saat aku, Joni, Bram dan Agung sedang minum minuman keras salah seorang cewek penghuni kost yang bernama Tiara baru saja melewati kami memakai kaos ketat dan celana pendek. Timbul pikiran jahat dibenakku dan kucetuskan pada teman-temanku. “Wah Jon…. cakep dan sexi juga ya penghuni kost itu..?” pancingku. “iya tuh.. sexi banget…. wah sayang karena orang kayak kita kan bisanya cuman ngeliat aja…” Bram pun menimpali ” Bener cewek gitu ga bakalan mau sama orang kayak kita kita Jon..” Lalu aku kemabali memancing mereka..”Klo emang ga mau kenapa gak kita perkosa aja sekalian rame-rame, kan bukannya dia juga ga bakalan jadi milik kita….?” “Gila loh…. entar dipenjara gimana..?” sahut Agung. “Ga bakalan….. asal tahu caranya bro…” Sahutku “Maksud loe gimana jack..?” Tanya Bram. Aku mengeluarkan sebuah handycam dari tasku dan beberapa tutup kepala yang memang sudah lama aku siapkan “Ini nih jurus ampuh memperkosa tanpa takut dilaporkan kepolisi.. mau tahu caranya..?” Aku berkata kepada Agung “Kamu bisa gunakan ini kan Gung.?” Agung tersenyum simpul dan mengangguk. “Jadi kita gunakan kamera ini saat kita memperkosa mereka dan kita gunakan sebagai ancaman klo mereka berani melapor..!!!!” Dan aksi itupun tak lama akan Dimulai.
Waktu menunjukkan pukul 22.30, perlahan kami satu persatu memanjat dinding belakang kost putri yang tidak terlalu tinggi itu. Pelan pelan kubuka pintu dapur yang tidak terkunci dan menuju kedalam pelan pelan diikuti oleh teman temanku. Aku melihat hanya ada 2 motor yang terparkir berarti hanya ada dua penghuni kost saat ini.
Darahku terkesiap ketika melihat salah satu kamar tidak terkunci dengan pintu sedikit terbuka, aku melihat Tiara sedang tidur dengan paha mulus putihnya yang terbuka. Aku segera membagi 2 kelompok masing masing dua orang. Aku dan Agung memasuki kamar Tiara dan kelompok kedua Bram dengan Joni mengetuk kamar Didin. Bram mengetuk kamar Didin perlahan, rupanya Tiara terbangun terlebih dahulu karena kamar mereka bersebelahan. Namun aku dan Agung sudah bersiap dan segera menempelkan golok dileher Tiara. “Diem lo jangan bertingkah..!!!!!!” Tiara terkejut dan masih terdiam. “Coba panggil temen kamu yang masih tidur dari sini..!!” wajah Tiara pucat dan dengan gemetar memanggil temannya, “Din… bangun Didin… tolongin gue Din…” panggil Tiara dengan suara gemetar. Sementara Bram masih mengetuk kamar Didin. Tak lama pintu dibuka dan Bram langsung menyergap Didin sambil menempelkan goloknya pula, Didin terkejut dan langsung pucat, dia tidak berani berteriak. “Ringkus dan ikat dia dengan lakban Bram..!! Biar dia menikmati tontonan gratis antara aku dan temannya ha.. ha.. ha…” perintahku.
Setelah Didin diringkus oleh kedua temanku, aku segera memakai topengku dan memberi isyarat ke Agung supaya menyalakan handycam. Tiara semakin pucat dan mulai memohon “Ampun bang… tolong jangan perkosa kami..ini kami ada sedikit uang untuk Abang.. ambil semua yang Abang mau tapi tolong jangan perkosa kami bang..” Kata Tiara hampir menangis. Aku tampar wajah Tiara, “Diem loh jangan berisik..!!” lalu mendorong tubuh mungil Tiara keatas tempat tidurnya yang indah. Tiara mulai terisak, aku tak perduli.
Aku segera meraih daster tipisnya dan kurobek dengan kasar. Tiara mencoba berguling kesamping sambil menutupi daerah dadanya sambil menyembunyikan wajahnya yang manis. Aku segera meraih tubuhnya dan kutelentangkan dengan paksa. Aku membuka silangan tangan didada Tiara dan dengan kasar sekali lagi aku merobek BH Tiara yang hanya berukuran 32 B.Tampaklah kedua bukit indah yang mungil dengan puting susu yang memerah. “Singkirkan tangan elo sekarang atau gua pukul lagi kamu..!!” perlahan lahan Tiara menurut. Aku mulai meremas dan menciumi buah dada indah itu, sementara Tiara masih terisak.Didin yang terbelenggu dipaksa kedua temanku untuk melihat semua kejadian itu. Aku membuka seluruh pakaianku, dan aku menjambak rambut Tiara sehingga wajahnya terangkat. “Nih kulum penis gue..awas klo ga mau gue bunuh kamu sekarang juga..!!!” Kataku Tiara menurut.. Oooh betapa nikmat rasanya ketika mulut mungil berbibir tipis itu mulai mengulum penisku. “Heh..setan!! Awas jangankena gigi elo rasanya sakit tahu…!!!” aku memaklumi karena mungkin Tiara baru pertama kali ini mengulum penis seorang cowok. Aku segera memaju mundurkan wajah Tiara dipenisku dengan menjambak rambutnya.
Tanpa membuang waktu lagi aku segera memerintahkan kedua temanku untuk melepaskan Didin dan membuka lakban dimulutnya. Aku memerintahkan Didin supaya masuk keranjang dimana Tiara sedang mengulum penisku. “Buka bajumu… dan jilat vagina temanmu ini.. awas kalau tidak mau menurut gue bunuh kamu sekarang juga..!!’ Kataku. Bram dan Joni terkekeh melihatku. “Bisa aja kamu jack.. wah wah.. wah sekali dapet dua lalat nih ayo terusin jack..!!” kata mereka. Agung masih menyorot semua kejadian itu dengan handycamku. Bram dan Joni mulai melepaskan semua pakaian mereka dan mengocok penis mereka , rupanya mereka juga terangsang melihatku.
Seperti perintahku, setelah aku mengatur posisi sedemikian rupa, Didin mulai menjilati vagina Tiara dengan ragu-ragu. “Ayo yang mesra jilatin vagina Tiara..!! Kalau tidak bisa kupotong lidahmu ..!!” gertakku. Didin menuruti kata kataku. Wajahnya semakin pucat dan hampir menangis. Setelah dia menjilati vagina Tiara, rupanya kuluman Tiara pada penisku mulai kacau, oleh sebab kenikmatan yang ditimbulkanDidin pada vaginanya. Aku tersenyum melihatnya.
Birahiku segera memuncak dan segera ingin meperkosa vagina milik Tiara yang terlihat sempit itu. Kemudian aku menyuruh Tiara untuk berhenti dan tidur terlentang. Aku menyuruh Didin untuk meletakkan vaginanya diatas mulut Tiara. “Nah sekarang ganTiaran elo yang jilatin vagina milik Didin..jangan mau enaknya saja ya..!!” Tiara pucat tapi dia menurut. wajah Tiara terbenam diselangkangan milik Didin sementara mereka semua hanya terdiam ketakutan menuruti perintahku. Aku memposisikan penisku divagina Tiara, sambil terus berusaha menyodok vaginanya aku terus meremas dan menciumi buah dada Didin yang berukuran sedang dan indah pula. Lubang Tiara masih terasa begitu sempit,walaupun terlihat kesakitan dia masih terus berusaha menjilati vagina Didin. Lubang milik Tiara sudah basah akibat jilatan Didin tadi, dan Drrrt.. drrt.. drrt. Aku segera memompa memasukkan penisku dalam vagina perawan milik Tiara. Sempit sekali rasanya sehingga menimbulkan sensasi nikmat yang luar biasa dipenisku. “Aah..tolong sudah bang sakit bang…aduh..sakit bang..tolong…!!” Jerit Tiara Bram segera mendatangi Tiara dan menampar mulutnya.. PLAK..!!! “Diem Loe dan jangan coba coba bersuara lagi..!! Jilatin terus memek temen kamu itu!!!” kata Bram.
Air mata Tiara tak dapat dibendung lagi menahan perih, dan aku semakin tak peduli. Semakin cepat aku memompa penisku dalam vaginanya, sambil aku terus meremas dan mencium buah dada Didin yang vaginanya masih terus dijilatin oleh Tiara. Sepuluh menit kemudian….. Crrooot ! spermaku tumpah didalam vagina Tiara. Aku mengentikan aktivitas penisku didalam vagina Tiara. Terasa berdenyut denyut nikmat dinding vagina Tiara. Sementara aku berhenti, kini rupanya giliran Didin yang tiba tiba mengejang, rupanya dia juga mengalami orgasme karena jilatan Tiara pada vaginanya.
Melihat hal itu aku jadi kembali terangsang dan penisku bangkit berdiri lagi. Aku menyuruh mereka bertukar posisi. Sekarang posisi Tiara ditempati oleh Didin begitu pula sebaliknya. sekarang vagina Tiara-lah yang dijilatin oleh Didin. Darah keperawanan Tiara masih meleleh dipahanya bercampur spermaku. Aku mmerintahkan Didin untuk menjilati bersih sperma bercampur darahku dipaha Tiara. Didin yang ketakutan itu hanya menurut sambil menangis, sesekali terlihat dia seperti mau muntah namun ditahannya. “Awas klo elo sampai muntah gue keluarin semua isi perut eloe.. ngerti..?” ancamku pada Didin. Gadis itu semakin ketakutan. Kini penisku sudah berada dibibir vagina Didin, sementara Didin masih menjilatin vagina milik Tiara yang baru saja kehilangan keperawanannya , aku terus mencumbu dan meremas dada Tiara. Vagina Didin rupanya memang lebih sempit, aku sampai kesulitan beberapa kali membobol keperawanan miliknya. Sampai aku akhirnya benar-benar memaksa penisku barulah aku dapat menembus vagina Didin. Jujur saja ketika memerawani Didin penisku agak sakit karena memang vagina Didin lebih sempit dari vagina milik Tiara. Setelah beberapa saat setelah penisku berada dalam vagina Didin yang sudah berdenyut dari sejak awal perawannya kubobol, aku mulai menggerakkan penisku maju mundur. Vagina Didin lebih nikmat dari vagina Tiara karena memang bentuk tubuh Didin lebih kecil dari bentuk tubuh Tiara. Setengah jam aku memompa vagina Didin sampai akhirnya aku memuntahkan spermaku jauh labih banyak daripada spermaku di vagina Tiara.
Setelah aku menghabiskan spermaku diliang vagina Didin , aku meyuruh Tiara untuk kembali mengulum penisku membersihkan sisa darah keperawanan Didin yang masih melekat di penisku. Lalu aku berpaling kepada ktiga temanku yang sudah menunggu dengan telanjang dan masing masing penis yang sudah ngaceng. “Bagaimana..?” Tanyaku……” “Hebat Jack……. sampai sampai gue ama Joni udah ga tahan niiih…!!!” Kata Bram “sabar..sabar dulu ya kalian pasti akan menerima bagian masing masing..” “biar mereka bersihkan vagina mereka dahulu ya..?” Kataku Bram sudah tidak sabar lagi, namun aku mencegahnya. “Coba lihat dulu ini…” Lalu aku segera memerintahkan kedua gadis itu untuk saling menjilati vagina temannnya hingga bersih. Bram tertawa lebar”ha.. ha.. ha..betul juga maksud elo jack.. masa kami dikasih bekas kecap elo… ha.. ha.. ha” Setelah mereka melihat kedua vagina milik Sinta dan Tiara sudah terlihat bersih dari spermaku dan ceceran darah keperawanan mereka yang masih menempel dipaha. Bram dan joni segera menyergap dan meperkosa kedua gadis malang itu, dilanjutkan dengan acara bertukar pasangan dan tak ketinggalan pula Agus sang ‘kameramen’ yang merekam semua adegan pemerkosaan itu.
Setelah hari menjelang subuh kami menguras seluruh harta kedua gadis itu termasuk motor, ATM dan nomer Pin serta perhiasan yang tidak sedikit jumlahnya. Maklum sepertinya mereka anak orang kaya. Sebelum meninggalkan mereka aku sempat mengancam, kalau berani amcam-macam, adegan pemerkosaan itu akan kami sebarluaskan. Setelah itu kami semua pergi meninggalkan mereka hingga beberapa bulan lamanya. Rupanya rahasia itu masih tersimpan rapi oleh mereka, karena setelah sekian lama kami merantau dan memutuskan untuk pulang kampung ternyata tidak ada tanda tanda bahwa kami dicari oleh pihak kepolisian. Hanya saja Tiara dan Didin sudah tidak bertempat tinggal dokostnya lagi, rupanya mereka telah pindah. TAMAT

IKLAN SEBENTAR GAN^^:

,


Hey para pembaca cerita sex, perkenalkan namaku Andro, disini saya akan menceritakan pengalaman sex pribadi saya yang bisa dibilang menyenangkan dan aneh. Cerita ini berawal dari liburan semester pada kenaikan kelas, seperti tahun-tahun sebelumnya jika setiap ujian semester atau ujian kenaikan kelas sekolahanku selalu mengadakan wisata.
Dalam liburan itu, kami pada siswa-siswi dapat menentukan liburan kami sesuai kesepakatan kelas kami masing-masing. Pada saat itu kebetulan siswa-siswi seelasku mendapat jatah tempat wisata yang tempatnya cukup jauh, yaitu di perkebunan teh di Kaki Gunung Kerinci.
Sebelum kami mengdakan liburan itu, 1 bulan sebelumnya aku dan 4 orang perwakilan dari kelasku melakukan survey untuk menugurusi tentang peginapan dan lokasi wisata alam itu.
Saat itu pada saat akhir pekan, tepatnya hari sabtu kami ber 5-pun, meminta izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk sekolah perihal untuk survey lokasi. Kami berlima adalahh para pengurus kelas, Andi sebagai ketua kelas, Risma sebagai wakil ketua, Farah sebagai bendahara, Alhi sebagai seksi acara dan aku sendiri sebagai seksi perlengkapan. Saat itu kami semua kesana menggunakan mobil jeep milik Farah bendahara kelas kami.
Kami mennggunakn mobil jeep karena memang disana rute jalanya masih kurang bagus.
Menurut kami paling cocok memang harus memakai mobil jeep, karena memang disana hanya ada gunung hutan saja. Setelah beberapa waktu perjalanan di tengah perjalanan kami-pun merasa lapar, dan kami berfikiri untuk mampir di rumah makan untuk makan dan istirahat sejenak.
Saat itu terasa lumayan lelah karena kami telah melakukan perjalanan selama berjam-jam. Ditambah lagi kami berada di mobil jeep jenis katana yang kabin mobilnya terasa sempit ketika kami tumpangi berlima, dan juga itung-itung kami juga memberi istirahat pada mobil Farah. Kini kami-pun sudah masuk di rumah makan, Andi, Aldhi dan aku memilih untuk rebahan di sebuah dipan kayu untuk meluruskan kaki.
Sedangkan Risma dan Farah langsung bergegas kemeja makan. Ketika aku sedang rebahan, aku-pun mendengar suara air mengalir di dekat rumah makan itu. Kata pemilik rumah makan memang di bawah rumah makan itu ada sungai yang katanya airnya jernih sekali.
Mendengar ucapan pemilik rumah makan itu, aku-pun penasaran dan segera menelusuri jalan setapak hingga sapailah aku di tepi sungai itu.
Sesampainya disungai, ternyata benar air disungai itu sangat jernih dan terlihat segar sekali. Kebetulan sekali di siang itu cuaca terasa panas dan mempunyai inisiatif untuk mandi di sungai itu agar terasa segar dan rasa capeku bisa hilang. Kemudian aku-pun bergegas menyusuri tepi sungai dan mencari yang agak jauh yang terlindung dari pandangan orang lain untuk mandi di sungai.
Setelah menekukan tempat yang aman aku-pun segera melepas pakaianku dan aku mulai mandi di sungai itu. Benar-benar segar rasanya para pembaca. Aku-pun mulai menyelam dan berenang di tepi sungai itu. Saat melihat ke tepi, aku tak melihat pakaianku ditepi sungai.
Ternyata aku terbawa arus sungai dan makin menjauh. Sesaat itu tiba-tiba aku mendenagr ada suara orang yang sedang mandi disungai itu.
Ketika aku meleihat ternyata ada orang lain yang mandi selain aku. Karena penasara aku-pun menghampirinya. Setelah aku sampai tidak kusangka ada 2 wanita yang sedang mandi. Saat aku mendekat mereka kaget lalu segera menepi untuk mengambil handuk untuk menutupi tubuhnya. Saat itu aku menjelaskan kepada mereka bahwa aku adalah pengunjung rumah makan dan sedang mandi lalu terbawa arus sungai.
Ternyata mereka adalah ibu dan anaknya penduduk lokal. Mereka menganjurkan aku untuk kembali lewat tepi sungai daripada berenang lalu terbawa arus lagi. Karena mereka tidak punya kain lagi, mau tidak mau aku naik ke tepi dalam keadaan telanjang. Tepi sungai tidak bisa dilalui, harus agak naik ke darat berliku-liku. Ibunya Anik mau mengantarkan aku dan minta anaknya menunggu.
Aku berjalan dibelakang ibu sambil menutupi kontol-ku, takut kena duri pohon. Tidak ada jalan setapak, dan jalannya naik turun. Disalah satu jalan turun aku terpeleset dan menimpa ibu yang ada didepanku. Kami bertindihan, kain ibu tersingkap dan kontol-ku menempel disekitar Memek-nya. Aku dan Ibunya Anik lalu berdiri.
Tiba-tiba Ibunya Anik mencopot kainnya sehingga telanjang. Aku tidak mengerti maksudnya,
“ Menurut adat, kalau perempuan dan laki sudah saling melihat kontol dan memek, maka mereka harus kawin ”, ucapnya.
“ Aku sudah lihat kontol kamu dan kamu sudah lihat memekku, Jadi aku dan kamu sekarang harus kawin ”, ucapnya.
Kemudian dia menggelar kain dan merebahkan diri di atasnya. Lalu tangannya melambai memanggilku untuk mengawini dia. Aku tidak mengerti, tapi aku juga tidak kenal daerah ini. Disekelilingku hanya terlihat pohon-pohon besar. Kalau jalan sendiri, pasti aku tersesat. Memang terdengar suara air sungai, tapi suaranya dari segala penjuru. Aku benar-benar tak tahu arah. Jadi kuikuti maunya.
Untuk bisa kawin aku harus terangsang. Maka kuperhatikan tubuh telanjangnya. Kulitnya gelap agak kotor. Susunya sudah agakmenggantung, mungkin karena usianya yang dugaanku hampir 40 tahun. Bulu jembutnya lebat keriting, bibir Memek-nya tipis berwarna hitam. Tapi bagian dalam Memek-nya berwarna merah menyala. Clitorisnya besar dan terlihat keluar dari bibir Memek.
Melihat itu semua aku mulai terangsang dan kontol-ku ngaceng. Dia senang melihat aku mulai ngaceng dan memanggil lagi. Aku menghampiri dan hendak mencium bibirnya. Dia melarang, jangan cium bibir ucapnya.
Akhirnya aku mencium susunya. Putingnya besar juga hampir sama dengan warna kulitnya. Lalu aku ke bawah untuk mencium Memek-nya.
Tetapi dilarang juga olehnya, padahal aku ingin mencium Clitoris yang besar itu.
Akhirnya hanya tanganku yang memegang dan membelai-belai Clitorisnya yang besar. Sekarang kontol-ku sudah ngaceng penuh, tanpa membuang-buang waktu segera aku arahkan ke Memek-nya, dan,
“ Zlebbbbbbb… ”, kontol-ku masuk perlahan.
Kutahan kontol-ku didalam, tapi dia menyuruhku untuk menggoyangkan dengan cepat. Aku ikuti perintahnya dan kugenjot dengan cepat. Aku merasakan nikmat tiada tara. Kurasakan Memek-nya menjepit kuat kontol-ku. Terus kugenjot dan dia mengerang keras,
“ Aow… Sssshhh… Aghhhhhhhhh… ”, desahnya.
Aku masih menggenjot, tapi dia menahan dan segera mengeluarkan kontol-ku dari Memek-nya. Lalu berdiri, memakai kain lagi menutupi Payudara dan Memek-nya, dan akhirnya mengajakku jalan lagi,
“ Ayo Pik, jalan ”, ucapnya.
“ Aku bukan Pik ”, ucapku.
“ Itu panggilan untuk putriku, Anik. Dia melihat kita dari balik semak ”, ucapnya.
Dan betul, Anik keluar dari persembunyiannya dan ikut berjalan. Karena kontol-ku masih ngaceng aku tidak bisa menutupi. Dan Anik melihat terus ke kontol-ku. Ibunya melihat perilaku Anik. Ternyata tidak sampai seratus langkah sudah sampai ditepi sungai. Dan kulihat pakaianku tidak jauh dari situ. Karena badanku gatal tergesek-gesek daun dan batang pohon, aku segera menceburkan diri di pinggir sungai, tidak berani ketengah lagi takut terbawa arus.
Anik masih terus berusaha melihat kontol-ku dan ibunya melihat tingkah Anik. Ibunya Upi menghampiriku dan bertanya,
“ Kamu sudah pernah lihat memek Anik? ”, Ucapnya Ibu Anik.
Pertanyaan ini tentu dikaitkan lagi dengan adat. Kalau pernah melihat berarti aku harus kawin dengan Anik. Aku melihat Anik, dia tersenyum. Cantik juga walau kulitnya hitam. Kuperkirakan umurnya 15 tahun. Walau tertutup kain, tapi posturnya langsing dan exotis. Kulihat kontol-ku masih agak tegang. Munculah niatku untuk memenuhi kebutuhan biologis si kontol,
“ Tadi memek Anik terlihat waktu dia naik ke tepi mau pakai kain. Bulu jembutnya masih sedikit ”, aku menebak untung-untungan.
Ibunya Anik tersenyum lalu memanggil Anik. Ibunya Anik membisiki Anik, lalu Anik mencopot kainnya hingga telanjang. Betul dugaanku, susunya padat mendongak , Memek-nya terlihat tebal dengan bulu jembut yang masih halaus. Anik menghampiriku di dalam sungai. Dia memelukku sebentar lalu meraih kontol-ku dan di elus-elus. Aku membalas dengan meraba-raba dan meremas-remas susunya. Tanganku juga mencoba menyentuh Memek-nya yang ada di dalam air sungai.
Merasakan tebalnya bibir Memek. Terasa juga Clitoris yang besar, sama seperti ibunya. Dia merangkulkan tangannya ke leherku. Kucium bibirnya dan dia tidak melarang. Kulihat ibunya juga tidak melarang. Aneh. Lalu aku menyelipkan kontol keselangkangannya dan menggesek-gesekkan ke Memek-nya. Melihat ini, ibunya memanggil-manggil Anik, dia menunjukk ke batu besar di sungai.
Anik mengikuti perintah ibunya menuju batu besar sambil menggandengku lalu terlentang di batu besar itu. Wow… benar-benar pemandangan alam yang indah. Kulihat jelas , dibalik pahanya yang merapat, ada Memek dengan bibir tebal yang mulai merekah karena terangsang. Aku membuka kakinya yang rapat sehingga Memek indah itu jadi terlihat dengan jelas. Clitoris yang besar itu menyembul keluar tengah bibir kewanitaanya.
Kuhampiri Memek itu, kucium. Aku melihat ke ibunya, dia diam tidak melarang. Maka kulanjutkan dengan menjilati bibir Memek, liang senaggama, lalu Clitorisnya yang besar itu,
“ Oughhh… Sssss… Aghhh… ”, desah Anik diiringi dengan tubuhnya yang mengejang.
Saat itu senang juga mendengar suara teriakannya, maka kuteruskan menjilati Clitoris itu,
“ Oughhh… Eummm… Aghhhh… ”, desah nikmatnya lagi.
Saat itu aku melihat ibunya memegang Memek-nya sendiri, Lalu Ibunya Anik menyuruh aku segera mengawini anaknya. Aku berdiri dan mengarahkan kontol-ku ke Memek Anik yang yang sudah dengan posisi rebahan, dengan perlahan kontol-kupun kutanamkan didalam Memek Anik,
“ Ssshhh… Zlebbbb… ”, Anik berteriak saat kepala kontol-ku mulai masuk kedalam Memek-nya.
Kutekan lagi, Anik berteriak lebih kencang. Kutekan lagi dan teriakannya semakin kencang. Kutekan lagi sampai kurasakan ujung kontol-ku membentur dinding dalam Memek-nya. Anik berteriak. Dia mengigit bibir dan terlihat matanya berlinang. Ibunya Anik membuka kain penutup tubuhnya lalu turun kesungai dan menghampiri. Dia memperhatikan kontol-ku yang sudah berada didalam Memek putrinya.
Dia tersenyum lalu mencium kening putrinya. Aku juga melihat kearah kontol-ku yang masuk didalam Memek Anik. Terlihat ada darah mengalir keluar dari Memek-nya. Darah perawan. Sudah kuduga bahwa Anik masih perawan sehingga tadi aku hati-hati memasukkan kontol-ku. Ibunya menyuruhku untuk menggenjot. Maka kugenjotkan pinggulku dan Anik selalu berteriak mengikuti irama genjotanku
Kalau genjotanku lambat, maka erangannya juga lambat, kalau cepat, irama erangannya juga cepat. Dicampur dengan suara derasnya alran sungai, jadi seperti lagu yang asyik. Ibunya naik ke atas batu besar dan duduk. Kakinya mengangkang dan dia menyuruhku untuk mencium Memek-nya. Sambil kontol-ku terus menghunjam, aku menciumi dan menjilati Memek-nya. Saat Clitorisnya terjilat Ibunya Anik berteriak.
Rame juga, ada suara air, suara teriakan Anik dan suara erangan ibunya. Pada akhirnya Anik memeluk dan terasa mencakar punggungku. Lalu ibunya juga mengerang panjang. Aku terus menggenjot sampai tak tahan lagi, kontol-ku menyemprot mani ke dalam Memek Anik. Lalu lemas memeluk dan menciumi Anik. Setelah terasa kontol-ku sudah loyo, aku mencabutnya dari Memek Anik.
Anik duduk dibatu, dan kulihat semakin banyak darah yang keluar dari Memek-nya. Juga air maniku keluar dari Memek-nya. Darah segar yang berasal dari jebolnya selaput darah Anik itu mengalir hingga mengenai batu, mengalir turun kesungai dan hanyut terbawa derasnya air sungai. Kusiram sisa darah dan mani di batu, lalu semua meluncur mengikuti arus sungai. Anik turun dari batu, ibunya juga. Lalu mereka berendam dan menyelam membersihkan diri dan Memek-nya.
Lalu mereka berpamitan sambil tersenyum. Kupandangi kepergian mereka. Anik berjalan dengan tertatih2 karena selangkangannya masih sakit. Lalu mereka menghilang dibalik lebatnya pohon. Aku kedarat dan mengeringkan badan lalu berpakaian. Dan segera kembali ke rumah makan mengikuti jalan setapak,
“ Dari mana saja kamu, lama banget, tadi dicari ke sungai kamu nggak ada. Kami jadi khawatir ”, kata Andi.
“ Paling-paling dia dibawa suara-suara gadis rimba penjaga sungai ”, ucap pemilik rumah makan.
Kemudian pemilik rumah makan itu bercerita bahwa kalau orang-orang sekitar sini turun ke sungai, suka mendengar suara beberapa wanita bermain air di sungai itu. Tapi tak ada yang pernah melihat mereka. Mereka menyebutnya sebagai suara gadis rimba penjaga sungai. Mendengar peryataan itu aku sempat kaget, lalu Farah bicara,
“ Iya Dho, kamu dibawa gadis rimba penunggu sungai? ”, tanya Farah
“ Nggak kok aku cuma berenang keseberang, Ngumpet karena malu takut kelihatan. Terus balik lagi. ”, Ucapku.
“ Oke. Syukur kamu sudah balik. Karena waktunya sempit kita harus segera berangkat. Kamu makan nasi bungkus di mobil saja ya. ”, kata Andi sambil menepuk punggungku.
“ Aowww… ”,
Saat itu punggungku terasa sakit ketika Andi menepuk punggungu. Aku menyingkap baju untuk melihat punggungku. Ada luka gores. Uda segera memberi obat merah. Kulihat dicermin memang ada luka gores. Ah ini luka gores cakaran Anik saat Klimaks,
“ Tadi waktu mandi kena batang pohon ”, ucapku. Farah menatapku curiga. Aku mengangkat bahu.
Setelah itu kamipun segera melanjutkan perjalanan kami untuk menuju pada tujuan kami yaitu kebun teh untuk mensurvey darmawisata dan pada aku-pun makan nasi bungkus di mobil dengan lahapnya karena lapar sekali setelah aku ML dengan gadis misterius disungai tadi. Selesai

IKLAN SEBENTAR GAN^^:

,